Rabu, 15 Mei 2013

Seminar Nasional Membangun Budaya Digital di Perguruan Tinggi

Pusat Komputer dan Sistem Informatika (PKSI) UIN Sunan Kalijaga adakan Seminar nasional dengan tema "Digital Lifestyle Experience for Higher Education". Acara  ini diadakan digedung Convention Hall dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, karyawan dan masyarakat umum. Seminar ini dibuka langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy'arie dengan Gong Digital. Menurut Ketua PKSI, Agung Fatmanto, Ph.D., kegiatan ini diadakan sebagai komitmen UIN Sunan Kalijaga dalam mewudkan kampus digital dan sebagai upaya membangun budaya  digital di perguruan tinggi. “ Di era globalisassi saat ini, perguruan tinggi harus memaksimalkan pengunaan tekhnologi digital, mengingat perkembangan arus informasi yang begitu pesatnya, hal ini sebagai imbas dari kemajuan dunia digital yang terjadi saat ini. Penerapan teknologi digital juga harus dibarengi dengan peningkatan pengetahuan teknologi komputerisasi bagi seluruh civitas kampus, baik dosen, pegawai dan mahasiswanya, agar menjadi sinergisitas”, tutur Agung Fatmanto yang juga dosen pada Fakultas Sains dan Teknologi. Dalam seminar ini menghadirkan Ryan Fabella (Client Software Architec IBM), Pepita Gunawan (Indonesian Google Southeast Asia dan Agung Fatmanto, Ph.D. sebagai pembicara.
Dalam sambutannya Musa Asyarie menyampaikan bahwa, UIN Sunan Kalijaga akan senantiasa mengembangkan kampus menuju kampus digital, karena, dengan penerapan teknologi digital, semua akses informasi akan menjadi mudah. Perkembangan teknologi yang begitu pesat seharusnya kita manfaatkan dan direspons secara positif, jangan sampe dengan perkembangan itu kita malah menjadi keblinger. “ Saat ini kita sudah dikuasai oleh dunia ‘kotak’, karena sebagian besar alat teknologi yang kita gunakan berbentuk kotak, PC, Monitor, PC Tablet, HP, Laptop semuanya berbentuk kotak. Melihat hal ini, kita jangan sampai dikotak-kotakkan oleh barang ‘kotak’ ini. Karena dengan barang ‘kotak’ ini individualisme akan semakin meningkat, untuk itu filter dalam penggunaan teknologi di era digital ini sangat penting”, tutur Musa.
“ Dalam acara ini juga dihadiri oleh delegasi PTAIN se-Indonesia dan delegasi pusat komputer Perguruan Tinggi dan civitas Mahasiswa se-DIY ”, tambah Agung. *(Doni Tri W-Humas UIN Suka)

Makalah Filsafat Umum




MAKALAH
EKSISTENSIALISME MARTIN HEIDEGGER
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Dr. Usman S.S.

 

Disusun oleh:
MAYA EKA WIDIASTUTI
NIM : 12410188
PAI II F
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sebagaimana dimaklumi, kehadiran zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan terhadap alam pikir Abad Pertengahan, Renaissance (Abad XV-XVI) yang menghidupkan kembali kebudayaan Yunani-Romawi sebagai alternative terhadap kebudayaan kristiani, bukan hanya merupakan pemberontakan di bidang nilai-nilai cultural, tapi juga menyongsong zaman baru dengan krisis Abad Pertengahan itu. penemuan-penemuan penting di bidang ilmu pengetahuan juga mengambil peran kunci dalam fajar zaman baru itu yang meninggalkan alam pikir Abad Pertengahan.[1]
Dengan adanya perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan membawa dampak kemajuan yang berarti di satu sisi namun juga berpotensi kepada kehancuran kemanusiaan itu sendiri seperti dehumanisasi dan depersonalisasi. Dehumanisasi adalah suatu proses yang menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, melainkan hanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yang diukur dengan apa yang dimilikinya dalam bentuk tertentu. Sedangkan depersonalisasi adalah perasaan aneh tentang diri manusia atau perasaan bahwa pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi.  
Martin Heidegger merupakan salah satu tokoh dalam filsafat aliran eksistensialisme, beliau melihat keadaan yang seperti itu, yaitu dehumanisasi dan depersonalisasi inilah yang mendasari pemikiran eksistensialismenya.
B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Eksistensialisme?
2.         Bagaimana Biografi Martin Heidegger?
3.         Apa Eksistensialisme Martin Heidegger?
4.         Apa sifat dari Eksistensialisme?
C.      Tujuan
1.         Mengetahui pengertian Eksistensialisme.
2.         Mengetahui Biografi Martin Heidegger.
3.         Mengetahui Eksistensialisme Martin Heidegger.
4.         Mengetahui sifat dari Eksistensialisme.






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah filsafat yang mengandung segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Pada umunya kata eksistensi berarti keberaduan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara  manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada dalam benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu, manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi, hanya manusialah yang bereksistensi.
Kata eksistensi berasal dari kate eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan menusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Bereksistensi oleh Heideger disebut Dasein, dari kata da (di sana) dan sein (berada) sehingga kata ini berarti berada di sana, yaitu di tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri di tengah-tengah dunia sekitarnya sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian menusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya itu. Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam berbagai macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada juga ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem itu di antaranya adalah sebagai berikut.
Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.
1.         Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan.  Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
2.         Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih sesama manusia.
3.         Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.[2]
B.       Biografi Martin Heidegger.
Martin Heidegger lahir tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar doctor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas Fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lehre Von Urteil In Psycologismus (ajaran tentang putusan dalam psikolog). Ia adalah anak seorang Pastor pada gereja katolik Santo Mortinus.
Sebelumnya Ia kuliah di Fakultas Teologi selama empat semester, lalu pindah ke filsafat dibawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut Filsafat Neo-Kantinaisme yang juga membawa pengaruh yang banyak baginya. Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Marburg dan berkenalan dengan teolog Protestan, kemudian kembali ke Freiburg untuk menggantikan Husserl. Di Marburg, ia sempat menyelesaikan karya monumentalnya yang berjudul Sein und Zeit (Being And Time). Karena Husserl orang yahudi, maka sewaktu gerakan Nazi, Ia berpisah dengannya. Pada tahun 1933, Ia menjadi Rektor pertama Universitas Freiburg yang diangkat oleh gerakan National Sosialist (Nazi), dengan pidato pengukuhannya berjudul “Role of the university in the New Reich” yang menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang jaya.  Begitu dia merasa dia hanya dieksplotasi maka setahun kemudian, dia meletakkan jabatan rektonya. Namun dia masih mengajar sampai pension pada tahun 1957.[3]  
C.       Eksistensialisme Martin Heidegger.
Menurut Martin Heidegger, eksistensialisme lebih dikenal sebagai bentuk gaya berfilsafat, pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya di tengah-tengah makhluk lainnya. Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme. Ia berusaha mengartikan makna keberadaan  atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah ontologi (ajaran tentang yang berada).[4] Karangannya yang sangat berkesan ialah Being and Time dan Introduction to Metaphysics. Kebanyakan tulisannya membahas persoalan-persoalan seperti “What is being?” (apa maknanya bila suatu entitas dikatakan ada?), “Why is there something rather than nothing at all?” Begitu juga judul-judul tentang eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.
Martin Heidegger sangat kritis pada manusia zaman sekarang. Manusia yang hidup pada zaman modern hidup secara dangkal dan sangat memperhatikan kepada benda, kuantitas, dan kekuasaan personal. Manusia modern tidak mempunyai akar dan kosong karena telah kehilangan rasa hubungan kepada wujud yang sepenuhnya. Benda yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka terhadap keseluruhan wujud. Hanya dengan menemukan watak dinamis dari eksistensilah manusia dapat diselamatkan dari kekacauan dan frustasi yang mengancamnya. Seseorang hanya hidup secara otentik sebagai suatu anggota dari kelompok yang hanya tergoda dengan benda-benda dan urusan hidup sehari-hari. Tetapi, jika ia mau manusia dapat hidup secara otentik dan memusatkan perhatiannya pada kebenaran  yang ia dapat mengungkapkannya, menghayati kehidupan dalam contoh kematian, dan begitu memandang hidupnya dengan perspektif yang  baru.[5]
Eksistensi adalah keadaan aktual yang terjadi dalam ruang dan waktu. Eksistensi menunjukan keberadaan suatu benda yang ada disini dan sekarang.[6] Kalangan eksistensialis membedakan antara eksistensi dengan esensi, mereka berpendapat bahwa esensi merupakan sesuatu yang membedakan antara suatu benda dengan corak-corak benda yang lainnya. Esensi yang menjadikan benda apa adanya.
Metode yang digunakan Martin Heidegger adalah fenomenologi, jadi keadaan aktualnya yang jelas nyata berada dihadapan manusia. Secara fenomenologis hubungan sehari-hari antara manusia dan dunia bersifat praktis dikarenakan manusia berada dalam dunia. Hubungan itu dapat kita amati bahwa manusia sibuk dengan dunia, atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia dan sebagainya. Hubungan antara manusia (Dasein) dan dunia disebut dengan Besorgen (memelihara), di dalam dunia manusia seakan sebagai yang berbuat. Perbuatannya bukan saja secara kongkrit dalam diam pun manusia berbuat, ada suasana praktis dan teoritis, tetapi perbuatan manusia lebih cenderung kepada yang praktis yang berkaitan dengan dunia yang dijumpainya. Hal ini yang memposisikan benda sebagai alat (Zeug). Demikianlah sifat dari Dasein yaitu dunia dan memiliki dunia itu. Yang dimaksudkan adalah bahwa benda akan memiliki fungsi jika memiliki hubungan manusia karena sifat dari benda (Beings) itu sendiri tidak berarti apa-apa jika tidak dikaitkan dengan manusia. Jadi fungsi suatu benda akan menonjol jika tidak dalam kondisi yang semestinya.[7]
Heidegger juga menyebutkan Schuld. Kata ini pada dasarnya memiliki arti hutang atau salah. Olehnya kata Schuld dihubungkan dengan keberadaan manusia. Cara berada manusia ialah bahwa meng-ada-kan adanya sendiri. Bukan berarti manusia menciptakan dirinya sendiri, tetapi dalam hal ini diartikan bahwa manusia bertanggung jawab atas adanya dirinya itu. Jadi, manusia di-ada-kan secara schulding (salah), disatu pihak manusia tidak mampu menyebabkan adanya dirinya sendiri, di sisi lain manusia tetap bertanggung jawab sebagai yang “bertugas” untuk meng-ada-kan dirinya.
Meng-ada-kan dirinya berarti merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya disebabkan keberadaan manusia dalam “situasi terlempar”. Manusia bebas memilih kemungkinan untuk meng-ada-kan dirinya, Kebebasan dalam memilih kemungkinan inilah yang oleh M. Heidegger sebagai Schuld.
Manusia yang tidak memiliki eksistensi merupakan manusia yang hidup dalam kehidupan semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan, kesibukan-kesibukannya mewujudkan perkumpulan-perkumpulan hal yang tidak teratur. Tanpa ada hubungan dengan yang lain.
Jalan yang menuju kepada hidup yang sejati, kepada keputusan yang pasti, kepada pengetahuan yang benar, kepada eksistensi yang sebenarnya yaitu kematian. Memasukkan kematian dalam eksistensi bukan berarti hanya mau tahu kalau dia akan mati, melainkan mendahului kematian, ia harus menyadari kehinaannya tanpa ilusi dan khayalan.dengan begitu ia akan terlindung dari hal-hal yang semu, dan manusia akan tekun melepaskan eksistensinya yang tidak sebenarnya. Dengan ini manusia akan menemukan eksistensinya. Manusia haruslah memanfaatkan waktunya untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya secara tekun. Dalam ketekunan eksistensi akan menjadi jelas.

D.      Beberapa Sifat Eksistensialisme
  1. Eksistensialisme pada dasarnya adalah gerakan protes terhadap filsafat barat tradisional dan masyarakat modern.
  2. Eksistensialisme menolak untuk bergabung kepada sesuatu aliran. Mereka menolak watak teknologi totalitarianisme yang impersonal.
  3. Eksistensialisme membahas soal-soal kedudukan yang sulit dari manusia.
  4. Eksistensialisme menekankan kesadaran “ada” (being), dan eksistensi. Nilai kehidupan Nampak melalui pengakuan terhadap individual, yakni “I” (aku) dan bukan “It”.
  5. Eksistensialis percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita sendiri. Kebenaran tak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu, eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan suasana hati.
  6. Eksistensialisme menekankan individual, kebebasannya dan pertanggungjawabannya.
  7. Seperti Nietzsche, Sartre mengingkari adanya Tuhan. Manusia tidak diarahkan; ia menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab itu ia bertanggung jawab seluruhnya atas pilihan-pilihannya.[8]





BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Martin Heidegger memulai pemikirannya tentang eksistensi karena keprihatinannaya terhadap apa yang dilihatnya. Pada saat itu, memang ilmu pengetahuan berkembang namun dibalik kemajuan ilmu pengetahuan dan zaman modern yang mengerucut pada industrialisasi menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan depersonalisasi.
Ia memiliki pemikiran bahwa manusia itu bebas dan masing-masing manusia memiliki eksistensinya diantara manusia dan benda lain. Dengan gagasannya ia coba menjabarkan bahwa antara “ada” dan “waktu” memiliki keterkaitan. Dengan keterkaitan itu manusia harus menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang berdiri sendiri namun terikat dengan benda-benda lain dan manusia lain disekitarnya. Dan berusaha untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya untuk menuju kehidupan yang sejati dan menanggung kepastian yang terakhir, yaitu Kematian.
B.   Saran
Demikianlah makalah ini saya tulis. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan saya menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Saya sangat mengharapkan kritik maupun saran yang membangun, supaya menjadi bahan pembelajaran bagi penulis pada khususnya, dan bagi mahasiswa pada umumnya.







DAFTAR PUSTAKA

Zubaedi, Filsafat Barat : Dari Logika Rene Descrates Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun. Jogjakarta : Ar-Ruz Media, 2007.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 1988.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2008.
M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984.



[1]. Dr. Zubaedi, M.Ag, Filsafat Barat: Dari Logika Rene Descrates Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun, (Jogjakarta: Ar-Ruzz  Media, 2007), hal. 150
[2]. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 1988), hal. 148-149
[3]. Dr. Zubaedi, Filsafat Barat : Dari Logika Rene Descrates Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun, (Jogjakarta : Ar-Ruz Media, 2007), hal. 152-153.
[4]. Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2008), hlm. 118.
[5]. M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984). hlm. 402.
[6]. Dr. Zubaedi, Filsafat Barat : Dari Logika Rene Descrates Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun, (Jogjakarta : Ar-Ruz Media, 2007), hal. 155.
[7]. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 1988), hal. 151.

[8]. M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984). hlm. 407.